Secara etimologi, Padmasana berasal dari kata “padma” yang artinya teratai dan “asana” yang artinya sikap duduk. Jadi Padmasana mengacu kepada sikap duduk teratai yang awalnya digunakan dalam aspek Asana Yoga. Namun dalam hal ini, terjadi distorsi makna dimana istilah Padmasana mengacu kepada tempat duduk atau singgasana dari dan menyerupai bunga teratai.
Dengan demikian Padmasana adalah simbol yang menggambarkan kedudukan Hyang Widhi sebagai bunga teratai, atau dapat juga dikatakan bahwa Padmasana sebagai tuntunan batin atau pusat konsentrasi. Bunga teratai dipilih sebagai simbol yang tepat menggambarkan kesucian dan keagungan Hyang Widhi karena memenuhi unsur-unsur:
1. Helai daun bunganya berjumlah delapan sesuai dengan jumlah manifestasi Hyang Widhi di arah delapan penjuru mata angin sebagai kedudukan Horizontal:
2. Puncak mahkota berupa sari bunga yang menggambarkan simbol kedudukan Hyang Widhi secara vertikal dalam manifestasi sebagai: Siwa (adasthasana/ dasar), Sadasiwa (madyasana/ tengah) dan Paramasiwa (agrasana/ puncak)
3. Bunga teratai hidup di tiga alam yaitu tanah/lumpur disebut pertiwi, air disebut apah, dan udara disebut akasa. Bunga teratai merupakan sarana utama dalam upacara-upacara Panca Yadnya dan juga digunakan oleh Pandita-Pandita ketika melakukan surya sewana.
Menurut Lontar “Dwijendra Tattwa”, pelinggih berbentuk Padmasana dikembangkan oleh Danghyang Dwijendra, atau nama (bhiseka) lain beliau: Mpu Nirartha atau Danghyang Nirartha. Berdasarkan wahyu yang diterima beliau di pantai Purancak (Jembrana) ketika pertama kali menginjakkan kaki di Bali setelah menyeberang dari Jawa Timur di abad ke-14, penduduk Bali perlu dianjurkan membangun pelinggih Padmasana.
Sebelum kedatangan beliau, agama Hindu di Bali telah berkembang dengan baik di mana penduduk memuja Hyang Widhi terbatas dalam kedudukan-Nya secara horizontal. Ajaran itu diterima dari para Maha Rsi yang datang ke Bali sejak abad ke-8, seperti Rsi Markandeya, Mpu Kuturan, Danghyang Siddimantra, Danghyang Manik Angkeran, Mpu Jiwaya, Mpu Gnijaya, Mpu Sumeru, Mpu Ghana, dan Mpu Bharadah. Bentuk-bentuk pelinggih sebagai simbol/niyasa ketika itu hanya: meru tumpang tiga, Kemulan rong tiga, bebaturan, dan gedong.
Wahyu yang diterima oleh Danghyang Nirartha untuk menganjurkan penduduk Bali menambah bentuk palinggih berupa Padmasana menyempurnakan simbol/niyasa yang mewujudkan Hyang Widhi secara lengkap, baik ditinjau dari konsep horizontal maupun vertikal.
Di kalangan masyarakat Bali umumnya menyebutkan Padmasana sebagai sebuah bangunan yang puncaknya berbentuk kursi yang dibelakangnya berisi lukisan burung Garuda, di tengah-tengah bangunan pada setiap sudut ada patung astadikpalaka (dewa penguasa delapan penjuru mata angin), serta dasar bangunan memakai lukisan badawangnala dililit oleh dua ekor naga. Bangunan Padmasana yang lengkap di kelilingi oleh kolam sebagai simbol laut Ksira Arnawa, Padmasana dikatakan simbol gunung Mandara.
0 komentar:
Posting Komentar