CIKAL-BAKAL                          berdirinya pura ini sangat erat kaitannya dengan                           perjalanan Danghyang Nirartha atau Danghyang  Dwijendra                          berkeliling Pulau Bali pada sekitar tahun Icaka  1411                          atau tahun 1489 M, tatkala beliau tiba di Bali  dari                          Blambangan abad ke-15.
                                                  Seperti yang dikisahkan  dalam kitab Dwijendra Tattwa,                          setelah berada di Pura Rambut Siwi untuk  beberapa lama,                          kemudian beliau yang dikenal dengan julukan  Pedanda                          Sakti Wawu Rawuh ini meneruskan perjalanan  menuju arah                          timur seusai melakukan sembahyang pagi, Surya  Cewana.
                                                  Oleh karena hari sudah sore, para nelayan mohon  agar                          beliau berkenan menginap di pondok mereka.   Namun,                          permohonan itu ditolak karena beliau lebih  senang                          bermalam di pulau kecil itu. Di samping karena  udaranya                          yang segar, dari sana beliau dapat melepaskan                          pandangannya ke segala arah.
                                                  Pada malam harinya,  beliau memberikan wejangan agama,                          kebajikan dan susila kepada masyarakat desa yang  datang                          menghadap.  Kala itu beliau menasihati kepada                          masyarakat desa untuk membangun parahyangan di  tempat                          itu, karena menurut getaran batin beliau serta  adanya                          petunjuk gaib bahwa di tempat itu baik digunakan  sebagai                          tempat untuk memuja Hyang Widhi.  Kemudian,  setelah                          Danghyang Nirartha meninggalkan tempat itu  dibangunlah                          sebuah bangunan suci yang kini dikenal dengan  Pura Luhur                          Tanah Lot. 
                                                  Dari beberapa catatan dikisahkan pula, sebelum                          melanjutkan perjalanan beliau melakukan meditasi  dan                          persembahyangan di tempat itu. Dikisahkan pada  saat                          melakukan persembahyangan ikat pinggang beliau  terlepas                          dan berubah menjadi ular yang hingga kini  dikenal                          sebagai ular duwe atau holy snake.
                                                  Menurut Jero Mangku Gede Subagia, pemangku pura  setempat,                          ular ini jumlahnya ratusan dan pada malam hari  tertentu                          ular ini merambat naik ke pura.
                                                  Di pura ini terdapat  beberapa palingggih yakni palinggih                          Ageng Siwa Budha yang beratap tumpang lima,  letaknya                          persis di tengah pura sebagai tempat pemujaan  Dewa Siwa.                          Juga terdapat palinggih Pedanda Sakti Wawu  Rawuh,                          merupakan palinggih atap tiga yang dilengkapi  dengan                          arca beliau. Palinggih Batara Sri merupakan  palinggih                          yang terletak hampir di belakang palinggih Ageng  yang                          arahnya menghadap ke laut.  Selain itu juga                          terdapat palinggih Lingga-Yoni persis di  belakang                          palinggih  Ageng yang berdampingan dengan  palinggih                          Dewi Sri. 
                                                  Seperti kebanyakan pura lainnya di Bali,  pujawali di                          pura ini jatuh setiap 210 hari tepatnya Buda  Wage                          Langkir atau 14 hari setelah hari raya Galungan,  sesuai                          dengan perhitungan kalender Bali. Menurut  penuturan Jero                          Mangku Subagia, selain untuk memohon kesucian  ataupun                          kesembuhan melalui toya beji, para pemedek  biasanya                          memohon kemakmuran atau doa untuk keberhasilan  suatu                          usaha. Diyakini dengan permohonan yang suci dan                          sungguh-sungguh, segala permohonan baik akan  terkabulkan. 
                                                  Abrasi 
                                                  Mengingat pura ini menjorok ke tengah laut,  beberapa                          kali pura ini terancam abrasi. Pertama kali pura  ini                          direhab pada tahun 1988 berupa proyek bantuan  dari                          Jerman dalam rangka pemasangan tetraport guna  pencegahan                          abrasi pantai.
                                                  Pada tahun 1995  dilakukan rehab kembali menjelang karya                          agung. Pemasangan tetraport kembali dilakukan  pada tahun                          2000-2003 atas bantuan dari Jepang.
                                                  Pura-pura lain yang ada di sekitar Pura Tanah  Lot adalah                          Pura Pekendungan, Pura Penataran, Pura Jero  Kandang,                          Pura Enjung Galuh, Pura Batu Bolong dan  Pura  Batu                          Mejan. Pura Pekendungan merupakan satu-kesatuan  dengan                          Pura Tanah Lot. Pada mulanya tempat ini bernama  Alas                          Kendung, digunakan sebagai tempat meditasi atau  yoga                          semadi, untuk mendapatkan sinar suci sebelum  melanjutkan                          perjalanan.
                                                  Di Pura Pekendungan terdapat keris sakti ''Ki  Baru Gajah''                          yang memiliki kekuatan untuk menaklukkan  penyakit                          tumbuh-tumbuhan di Bali. Keris ini merupakan  pemberian                          Danghyang Nirartha kepada pemimpin Desa Beraban,  yang                          kini disimpan di Puri Kediri. Saat piodalan  Sabtu Kliwon                          Wara Kuningan, keris ini di-pendak serangkaian  piodalan.
                                                  Pura Jero Kandang merupakan pura yang dibangun  oleh                          masyarakat Beraban dengan tujuan untuk memohon                          perlindungan bagi ternak dan tumbuhan mereka  dari                          gangguan berbagai penyakit.
                                                  Pura Enjung Galuh berlokasi dekat dengan Pura  Jero                          Kandang.  Menurut beberapa catatan, pura ini                          dibangun untuk memuja Dewi Sri yang merupakan  sakti dari                          Dewa Wisnu yang piodalannya setiap Rabu Umanis  Wara                          Medangsia.  Pura ini sangat diyakini oleh                          masyarakat setempat sebagai pusat kemakmuran dan                           kesuburan jagat.  
                                                  Sementara Pura Batu Bolong merupakan tempat yang                           biasanya masyarakat melakukan pamelastian maupun  pakelem                          dengan maksud untuk menyucikan alam.  Sedangkan                          Pura Batu Mejan atau dikenal dengan beji  merupakan                          tempat untuk mendapatkan tirtha penglukatan.                          (upi)
(Sumber : http://www.balipost.co.id/balipostcetak )
 
 
 
 
 
0 komentar:
Posting Komentar