Salah satu pura yang sangat terkenal di nusantara bahkan di dunia adalah Pura Tanah Lot. Pura ini terletak di pantai selatan Pulau Bali yaitu di Desa Braban, Kecamatan Kediri, Tabanan atau sekitar 30 km dari Kota Denpasar. Pura ini menampilkan pesona alam yang sangat indah dan sempurna. Selain karena keindahan alamnya, pura yang merupakan Dang Kahyangan ini juga diyakini sebagai sumber kemakmuran jagat. Pura yang juga dijadikan objek wisata ini ramai dikunjungi tamu mancanegara maupun nusantara. Bagaimana sejarah berdirinya pura ini?
CIKAL-BAKAL berdirinya pura ini sangat erat kaitannya dengan perjalanan Danghyang Nirartha atau Danghyang Dwijendra berkeliling Pulau Bali pada sekitar tahun Icaka 1411 atau tahun 1489 M, tatkala beliau tiba di Bali dari Blambangan abad ke-15.
Seperti yang dikisahkan dalam kitab Dwijendra Tattwa, setelah berada di Pura Rambut Siwi untuk beberapa lama, kemudian beliau yang dikenal dengan julukan Pedanda Sakti Wawu Rawuh ini meneruskan perjalanan menuju arah timur seusai melakukan sembahyang pagi, Surya Cewana.
Di dalam perjalanan itu beliau asyik mencatat keindahan alam yang dilihatnya, sehingga tidak dirasakannya pada sore hari tiba di pantai selatan Pulau Bali. Di pantai ini terdapat sebuah pulau kecil yang berdiri di atas tanah parangan (tanah keras). Di situlah Danghyang Nirartha berhenti dan beristirahat. Tidak lama setelah Danghyang Nirartha beristirahat maka berdatanganlah para nelayan dengan membawa berbagai persembahan untuk diaturkan kepada beliau.
Oleh karena hari sudah sore, para nelayan mohon agar beliau berkenan menginap di pondok mereka. Namun, permohonan itu ditolak karena beliau lebih senang bermalam di pulau kecil itu. Di samping karena udaranya yang segar, dari sana beliau dapat melepaskan pandangannya ke segala arah.
Pada malam harinya, beliau memberikan wejangan agama, kebajikan dan susila kepada masyarakat desa yang datang menghadap. Kala itu beliau menasihati kepada masyarakat desa untuk membangun parahyangan di tempat itu, karena menurut getaran batin beliau serta adanya petunjuk gaib bahwa di tempat itu baik digunakan sebagai tempat untuk memuja Hyang Widhi. Kemudian, setelah Danghyang Nirartha meninggalkan tempat itu dibangunlah sebuah bangunan suci yang kini dikenal dengan Pura Luhur Tanah Lot.
Dari beberapa catatan dikisahkan pula, sebelum melanjutkan perjalanan beliau melakukan meditasi dan persembahyangan di tempat itu. Dikisahkan pada saat melakukan persembahyangan ikat pinggang beliau terlepas dan berubah menjadi ular yang hingga kini dikenal sebagai ular duwe atau holy snake.
Menurut Jero Mangku Gede Subagia, pemangku pura setempat, ular ini jumlahnya ratusan dan pada malam hari tertentu ular ini merambat naik ke pura.
Di pura ini terdapat beberapa palingggih yakni palinggih Ageng Siwa Budha yang beratap tumpang lima, letaknya persis di tengah pura sebagai tempat pemujaan Dewa Siwa. Juga terdapat palinggih Pedanda Sakti Wawu Rawuh, merupakan palinggih atap tiga yang dilengkapi dengan arca beliau. Palinggih Batara Sri merupakan palinggih yang terletak hampir di belakang palinggih Ageng yang arahnya menghadap ke laut. Selain itu juga terdapat palinggih Lingga-Yoni persis di belakang palinggih Ageng yang berdampingan dengan palinggih Dewi Sri.
Desiran angin dan deburan ombak menambah suasana sakral pura ini. Tak pelak hal itu membuat siapa saja akan segera tenggelam dalam samudera rohani ketika melakukan meditasi di pura ini. Selain getaran spiritual yang sangat tinggi yang dapat dirasakan di pura ini, juga pemandangan alam yang sangat indah, apalagi menjelang sang surya tenggelam di ufuk barat. Dari kejauhan, pura ini tampak sebagai pulau karang yang sangat anggun.
Seperti kebanyakan pura lainnya di Bali, pujawali di pura ini jatuh setiap 210 hari tepatnya Buda Wage Langkir atau 14 hari setelah hari raya Galungan, sesuai dengan perhitungan kalender Bali. Menurut penuturan Jero Mangku Subagia, selain untuk memohon kesucian ataupun kesembuhan melalui toya beji, para pemedek biasanya memohon kemakmuran atau doa untuk keberhasilan suatu usaha. Diyakini dengan permohonan yang suci dan sungguh-sungguh, segala permohonan baik akan terkabulkan.
Abrasi
Mengingat pura ini menjorok ke tengah laut, beberapa kali pura ini terancam abrasi. Pertama kali pura ini direhab pada tahun 1988 berupa proyek bantuan dari Jerman dalam rangka pemasangan tetraport guna pencegahan abrasi pantai.
Pada tahun 1995 dilakukan rehab kembali menjelang karya agung. Pemasangan tetraport kembali dilakukan pada tahun 2000-2003 atas bantuan dari Jepang.
Pura-pura lain yang ada di sekitar Pura Tanah Lot adalah Pura Pekendungan, Pura Penataran, Pura Jero Kandang, Pura Enjung Galuh, Pura Batu Bolong dan Pura Batu Mejan. Pura Pekendungan merupakan satu-kesatuan dengan Pura Tanah Lot. Pada mulanya tempat ini bernama Alas Kendung, digunakan sebagai tempat meditasi atau yoga semadi, untuk mendapatkan sinar suci sebelum melanjutkan perjalanan.
Di Pura Pekendungan terdapat keris sakti ''Ki Baru Gajah'' yang memiliki kekuatan untuk menaklukkan penyakit tumbuh-tumbuhan di Bali. Keris ini merupakan pemberian Danghyang Nirartha kepada pemimpin Desa Beraban, yang kini disimpan di Puri Kediri. Saat piodalan Sabtu Kliwon Wara Kuningan, keris ini di-pendak serangkaian piodalan.
Pura Jero Kandang merupakan pura yang dibangun oleh masyarakat Beraban dengan tujuan untuk memohon perlindungan bagi ternak dan tumbuhan mereka dari gangguan berbagai penyakit.
Pura Enjung Galuh berlokasi dekat dengan Pura Jero Kandang. Menurut beberapa catatan, pura ini dibangun untuk memuja Dewi Sri yang merupakan sakti dari Dewa Wisnu yang piodalannya setiap Rabu Umanis Wara Medangsia. Pura ini sangat diyakini oleh masyarakat setempat sebagai pusat kemakmuran dan kesuburan jagat.
Sementara Pura Batu Bolong merupakan tempat yang biasanya masyarakat melakukan pamelastian maupun pakelem dengan maksud untuk menyucikan alam. Sedangkan Pura Batu Mejan atau dikenal dengan beji merupakan tempat untuk mendapatkan tirtha penglukatan. (upi)
(Sumber : http://www.balipost.co.id/balipostcetak )
0 komentar:
Posting Komentar